Pernikahan
adalah babak baru untuk mengarungi kehidupan yang baru pula. Ibarat membangun
sebuah rumah, diperlukan kesiapan dan perencanaan yang matang. Jika tidak dipersiapkan dengan baik dan dibangun
serampangan, maka hasilnya akan mengecewakan. Demikian pula dengan pernikahan.
Nikah
dini adalah fenomena yang sering terjadi di kepulauan Madura. Madura sendiri
memakai hukum adat dalam mengawinkan anak-anak mereka. Hukum adat itu sendiri
yaitu hukum peraturan tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang di dalam
masyarakat yang hanya ditaati oleh masyarakat yang bersangkutan. Hukum adat
mempunyai kemampuan menyesuaikan diri dan elastis karena peraturan-peraturannya
yang tidak tertulis. Dalam hukum adat dikenal juga masyarakat hukum adat yaitu
sekumpulan orang yang diikat oleh tatanan hukum / peraturan adat sebagai warga
bersama dalam suatu persekutuan hukum yang tumbuh karena dasar keturunan
ataupun kesamaan lokasi tempat tinggal. setiap daerah di Indonesia khususnya
mempunyai adat yang berbeda-beda. Karena perbedaan itulah yang menjadi ciri
khas dan identitas sebuah daerah.
Di
Madura sendiri pernikahan tidak dibatasi usia. Di masyarakat Madura sendiri
banyak yang kawin di usia muda bahkan ada yang kawin di usia yang belum baligh.
Kebiasaan menikahkan anak yang belum baligh masih menjadi tradisi di daerah
Sumenep bagian timur, misalnya di Talango. Kisaran umur perempuan yang menikah
muda antara 3-15 tahun dan laki-laki antara 0-20 tahun. Pernikahan yang sudah
baligh disahkan oleh Kyai daerah Sumenep dengan landasan Nabi Muhammad yang
menikahi Aisyah di usia 6 tahun. Sedangkan pernikahan yang belum baligh, kyai
Sumenep menganggap jenis ini hanya bentuk ikatan dua keluarga untuk saling mengawinkan
anaknya sementara akad nikah baru dilaksanakan kalau pasangan tersebut sudah
baligh.
Pernikahan
dini yang ada di Madura terbilang unik, karena pernikahan tersebut dianggap sah
oleh masyarakatnya dan sudah manjadi adat masayarakat Madura sendiri. Pernikahan
di Madura sangatlah berbeda dengan daerah lain, ketika si laki-laki sudah bisa
mencari uang atau penghasilan sendiri, mereka sudah dianggap dewasa dan boleh
melakukan perkawinan, tidak harus menunggu umur 20-25 tahun.
Pernikahan
di bawah umur juga bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya :
pendidikan, ekonomi, kebiasaan dan adat istiadat. Misalnya dalam hal
pendidikan, orang tua dari pihak perempuan yang tidak menginginkan anaknya
untuk melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi karena ditakutkan dapat
mempengaruhi pergaulannya dikemudian hari, sehingga orang tua memilih untuk
menikahkannya. Dalam hal ekonomi, jika sudah bersuami (menikah) tentu
perekonomian keluarga sedikit terbantu. Ada juga anggapan bahwa orang Madura
sendiri masih memegang teguh dan melanjutkan apa yang pernah dilakukan oleh
nenek moyang mereka di masa dahulu. Masyarakat Madura berkeyakinan, jika cepat
melakukan pernikahan, maka ia akan lebih dekat dengan Allah SWT dan menikah itu
sendiri merupakan ibadah yang dianjurkan oleh agama islam. Jadi pernikahan dini
yang ada di Madura tidak semata-mata ingin kawin saja, namun dipengaruhi oleh
faktor-faktor tersebut. Dalam sosiologi hukum juga dijelaskan perilaku manusia
atau masyarakat bisa dipengaruhi oleh faktor tingkat pendidikan, keluarga,
kebiasaan dan adat istiadat.
Hal
menarik juga terdapat saat melangsungkan pernikahan. Pernikahan di masyarakat
Madura digelar dengan sangat meriah, entah itu dari keluarga mampu atau tidak. Dan
pernikahan dilakukan dalam waktu yang lama. Dimulai dengan persiapan
pernikahan, segala keperluan yang dibutuhkan dalam pernikahan harus
dipersiapkan secara matang. Dalam pernikahan, resepsi dilakukan sehari-semalam.
Dan biasanya pada malam resepsi dadakan tatangngin
untuk menemani malam pertama pengantin. Dalam acara tatangngin biasanya diadakan acara ludruk maupun sejenisnya.
Sebelum
melakukan pestapun, sebelumnya akan digelar acara tok-otok (semacam arisan) untuk mengumpulkan uang. Setelah uang
terkumpul, mereka akan melakukan pesta sesuai rencana. Acara tok-otok sendiri akan digelar secara
bergantian, jadi jika salah satu keluarga menikah hari ini, mereka juga harus
serta dalam tok-otok berikutnya jika
ada pernikahan keluarga lainnya. Arisan semacam ini punya manfaat banyak karena
bisa saling tolong-menolong dalam kebaikan. Orang bisa merasakan kebahagiaan
yang sama, meskipun dari keluarga tak mampu sekalipun.
Banyak
resiko yang dapat ditimbulkan dan merugikan pihak-pihak yang bersangkutan oleh
pernikahan dini, terutama pihak perempuan. Diantaranya:
a. Kematian
ibu yang melahirkan
Kematian karena melahirkan banyak
dialami oleh ibu-ibu yang berusia di bawah 20 tahun. Penyebab utama karena
kondisi fisik sang ibu belum memungkinkan untuk melahirkan. Matangnya rahim perempuan adalah di usia 25
tahun. Banyak dokter kandungan menyarankan agar perempuan melahirkan di usia 25
tahun ke atas.
b. Kematian bayi
Bayi yang dilahirkan oleh ibu
berusia muda, banyak mengalami nasib yang tidak menguntungkan. Ada yang lahir
sebelum waktunya (premature), ada
yang berat badannya kurang, cacat lahir, dan ada pula yang langsung meninggal.
c. Hambatan
terhadap kehamilan dan persalinan
Selain kematian ibu dan bayi, ibu
yang kawin pada usia muda dapat pula mengalami pendarahan, anemia, persalinan
yang lama dan sulit, bahkan memungkinkan menderita kanker mulut rahim (serviks) di kemudian hari.
d. Persoalan
ekonomi
Pasangan yang menikah di usia
muda, umumnya belum mempunyai cukup memiliki pengetahuan dan keterampilan (skills). Sehingga, sulit mendapatkan
lapangan pekerjaan. Hal ini berdampak pada nafkah keluarga, sehingga bisa
menimbulkan masalah di kemudian hari. Banyak perceraian terjadi karena masalah
finansial dan ini patut untuk disikapi.
e. Persoalan
kedewasaan
Kedewasaan seseorang sangat berhubungan
erat dengan usianya, usia muda (12-19 tahun) memperlihatkan keadaan jiwa yang
selalu berubah (BKKBN, 2003). Emosi yang masih labil dapat memicu perselisihan
dan dapat menimbulkan masalah. Masalah yang tidak bisa dikelola dengan baikpun,
pada akhirnya dapat menimbulkan perceraian.
Dalam
hukum positif perkawinan dalam undang-undang kita, tidak sembarangan orang bisa
melangsungkan pernikahan. Semuanya sudah
diatur dalam undang-undang berikut
pasal-pasalnya. Salah satunya
disebutkan, usia minimal untuk suatu perkawinan adalah 16 tahun untuk
perempuan, dan 19 tahun untuk laki-laki (Pasal 7 UU No.1/1974). Jelas bahwa, di
undang-undang tersebut orang di atas usia tersebut bukan lagi anak-anak,
sehingga mereka sudah boleh untuk menikah. Batasan usia ini dimaksud untuk
mencegah perkawinan terlalu dini. Walaupun begitu, selama seseorang belum
mencapai usia 21 tahun masih diperlukan izin orang tua untuk menikahkan
anaknya. Setelah di usia 21 tahun, boleh menikah tanpa seizin orang tua (Pasal
6 ayat 2 UU No. 1/1974). Tampak di sini, meski di undang-undang dicantumkan
usia 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki, mereka belum dianggap
dewasa penuh dan masih diperlukan izin orang tua untuk menikah.
Tidak
itu saja, dalam Pasal 47 UU No. 1/1974 tentang perkawinan, ayat ( 1)
menjelaskan, “anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan, ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka
tidak dicabut dari kekuasannya.” Dan pasal 50 ayat (1) menjelaskan, “ anak yang
belum mancapai umur 18 tahun atau yang belum pernah melangsungkan perkawinan,
yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali.” Kalau dikaitkan pernikahan dini yang ada di
Madura dengan undang-undang yang mengatur perkawinan di Indonesia, jelas
terjadi pelanggaran. Namun, karena masyarakat Madura mempunyai hukum adat
sendiri, maka pernikahan usia dini dianggap wajar-wajar saja.
Seharusnya
pemerintah dan semua elemen masyarakat memperhatikan persoalan ini, sebab
mengingat persoalan yang ditimbulkan akibat pernikahan dini sangat banyak,
seperti kematian ibu dan bayi, hambatan dalam persalinan, kesulitan dalam hal
ekonomi, dll. Belum lagi kita melihat pada kondisi sang anak, amat disayangkan
jika pendidikannya dipangkas di usia sekian. Seharusnya menikah setelah masa study selesai, setidaknya lulus SMA.
Analisis Poligami di Madura
Analisis Poligami di Madura
Poligami yang dipahami orang kebanyakan adalah lelaki yang
memiliki istri lebih satu. Stereotipe orang memandang poligami yaitu lelaki
hidung belang atau laki-laki yang tidak punya rasa setia terhadap istri,
kurangnya sense of empaty. Poligami
bisa tanpa/diketahui oleh pihak istri. Di Madura sendiri, kasus poligami
terbilang cukup banyak, bahkan kyai-kyai sendiripun ada yang berpoligami. Di
Bangkalan misalnya, ada sebuah keluarga yang penulis ketahui dari salah seorang
sahabat, sang suami memiliki istri dua. Kehidupan mereka tentram, bahkan bisa
dikatakan jauh dari masalah. Hal ini dikarenakan, sang suami meminta izin
kepada istri pertama untuk berpoligami dan setelah mendapatkan izin, mereka
menikah, lalu tinggal serumah dengan istri pertama. Yang melatarbelakangi sang
suami menikah lagi dikarenakan istri pertama tak kunjung mengandung, padahal
mertua sudah ingin menimang cucu. Karena sang istri pertama minder tidak bisa
memberikan keturunan, akhirnya setuju untuk dipoligami. Dari istri kedua, lahir
satu orang anak yang kini sedang bersekolah di salah satu SD di Bangkalan.
Proses melakukan poligamipun terbilang sama dengan pernikahan
biasa. Ada yang memeriahkan dengan pesta, namun ada juga yang tidak. Kasus
poligami yang dilakukan siri akhir-akhir ini mencuat di salah satu daerah di
Madura, sang laki-laki melakukan poligami tersebut dan kemudian hari baru
diketahui oleh pihak istri. Karena merasa sakit hati, sang istripun melakukan
hal serupa dengan poliandri.
Akibat bagi perempuan yang dipoligami sangat beragam. Namun yang
penulis ketahui, tidak ada orang yang mau diduakan cintanya. Istri mana yang
rela dimadu. Pihak perempuan, dalam hal ini istri pertama yang dipoligami
tentunya akan merasakan tekanan batin, akan mengakibatkan sakit hati dan
kemudian dendam. Jika ini berkelanjutan, akan muncul bibit-bibit masalah dalam
keluarga tersebut. Akan ada kompetisi siapa yang layak dan baik untuk disayang
serta dipertahankan seumur hidup. Jika tidak kunjung menemukan solusi, maka
ujung-ujungnya akan terjadi perceraian yang tidak diharapkan. Lain jika pihak
istri tersebut benar-benar rela dipoligami. Sungguh istri yang mulia.
Dalam hal finansial dan hasrat seksual, jika sang suami tidak bisa
adil terhadap kedua istrinya, hal ini juga dapat menimbulkan masalah dikemudian
hari. Dalam ayat suci Al-Quran juga sudah dijelaskan, menikah lagi hanya bisa
dilakukan jika istri pertama mengizinkan dan berlaku adil terhadap keduanya.
Jika tidak bisa memantapkan hal yang dua itu, maka cukup satu istri saja.
Penulis juga merasa kagum dengan poligami yang terjadi di Madura,
biasanya poligami banyak yang tidak disetujui orang. Namun disini, semua orang
mendukung jika poligami memang dibutuhkan.
Pendapat penulis tentang poligami di Madura, seharusnya poligami
tidak berlarut-larut terjadi. Cukup satu untuk yang lain. Sebab, akan
menimbulkan kecemburuan sosial dikemudian hari. Poligami juga tidak baik untuk
perkembangan anak, apalagi jika ada anak tiri dan orang tua tiri tidak saling
suka. Bisa lain lagi cerita yang akan terjadi. Poligami juga bisa merusak
mental dan psikologi anak. Anak pada dasarnya akan belajar dari likungannya. Jika
ayahnya sendiri memiliki istri lebih dari satu, ditakutkan anak juga akan
mempelajari hal yang sama dari sang ayah. Sudah meniatkan diri sebelum menikah
untuk mempunyai istri lebih dari satu. Jika niatnya saja sudah salah, bagaimana
bisa untuk setia?
Poligami di Madura seharusnya diminimalisasi dengan cara melakukan
sosialisasi, meningkatkan pengetahuan serta keterampilan, dan juga orang tua
punya andil yang sangat besar untuk hal ini. Andai saja orang tua memberikan
prasyarat sebelum menikah agar anaknya dijaga sampai maut memisahkan serta
setia hanya pada satu orang saja, pasti tidak akan terjadi poligami.
Analisis Pernikahan Sirri di Madura
Lain lagi yang dibahas kali ini, sebelumnya tentang poligami
sekarang tentang nikah sirri. Nikah sirri adalah sesuatu yang dirahasiakan.
Nikah sirri bisa dilakukan oleh orang yang sudah menikah sebelumnya, lalu
menikah lagi secara siri dan pasangan yang belum menikah namun pernikahan akan
dilakukan secara sirri.
Dalam masyarakat Madura sendiri pernikahan sirri sering terjadi.
Akhir-akhir ini penulis membaca sebuah berita online, di Jember yang dihuni
oleh masyarakat Madura terjadi pernikahan siri yang dilakukan oleh Mawar (nama
samaran-red) yang menikah 9 kali, 2 kali menikah secara sah di KUA (Kantor
Urusan Agama) dan selebihnya nikah siri. Alasan Mawar melakukan nikah siri
karena masalah ekonomi. Mawar yang berasal dari keluarga tidak mampu, memilih
menikah sirri dengan laki-laki yang bisa menafkahinya beserta keluarganya.
Ada pula nikah siiri yang dilakukan saat anak masih usia dini,
pernikahan ini sering terjadi di Desa Leggung Barat, Kecamatan Batang-batang,
Sumenep. Anak yang dinikah sirri-kan masih berusia antara 13-15 tahun. Sama
halnya dengan pernikahan dini tadi, namun ini dilakukan secara rahasia karena
anak masih pelajar dan menempuh pendidikan sekolah. Anak yang yang telah
melalui nikah sirri, mereka baru boleh berkumpul (seranjang) saat usia mereka
sudah dirasa cukup. Dipilih alternatif nikah sirri, karena tidak mungkin
mendafarkan pernikahan anak di usia sekian. Pernikahan mereka akan didaftarkan
ke KUA saat umur mereka sudah dianggap cukup.
Proses nikah sirri sendiri dilakukan di rumah saja. Pernikahan
yang terjadi tidak dicatat oleh negara, sehingga anak yang lahir nanti tidak
tercatat pula. Ada banyak faktor yang menyebabkan seseorang melakukan nikah
siri. Yang pertama, pasangan yang hendak bekerja, namun disyaratkan oleh perusahaan
tersebut belum menikah, karena mereka tidak bisa lagi mengundurkan pernikahan
mereka terpaksa pernikahan dilakukan secara siri. Yang kedua, pasangan yang
sudah mengalami “kecelakaan”, dalam hal ini si perempuan hamil diluar nikah
karena melakukan hubungan pranikah. Karena pernikahan tidak mungkin bisa
dilakukan karena hamil besar, terpaksa pernikahan dilakukan secara siri. Yang
ketiga, pasangan yang sudah menikah tapi belum juga dikaruniai anak, karena
sang istri tidak membolehkan berpoligami tapi sang suami sendiri sudah kepengen
punya anak, maka dilakukanlah nikah siri tanpa sepengetahuan sang istri. Yang
keempat, salah satu pasangan bekerja diluar kota/negri dalam hitungan
bulan/tahun, karena salah satu pasangan tidak bisa hidup sendirian
berlama-lama, maka nikah siri bisa menjadi salah satu alternatif baginya. Yang kelima, hubungan pasangan dalam
rumah tangga kurang harmonis, sehingga salah satu pasangan memilih menikah siri
karena tidak mungkin menceraikan pasangannya tersebut.
Akibat bagi perempuan yang dinikahi secara siri tentu banyak pula.
Yang pertama, anak yang lahir tentu tidak diakui oleh badan hukum. Maka akan kesulitan
jika anak sudah besar dan hendak bersekolah. Belum lagi jika anak akan
berkeluarga pula. Yang kedua, jika terjadi perceraian, harta benda tidak bisa
diwariskan atau menjadi hak salah satu pihak saja karena tidak diakui secara
hukum. Yang keempat, menjadi masalah sosial lingkungannya. Sebab, masyarakat
akan menggunjingkan si perempun ini-itu. Dari pernikahan sirri itu tadi, perempuan
dalam hal ini sangat dirugikan, dan laki-laki merasa diuntungkan.
Sangat disayangkan jika terjadi nikah sirri. Oleh karena itu, bagi
pasangan yang akan menikah namun pasangan meminta untuk menikah siri, tolaklah
secara halus dan katakan apa saja yang akan terjadi nantinya. Apa salahnya
menikah secara sah di KUA? Pasangan yang ingin menikah secara siri biasanya
akan lepas tanggung jawab. Sebab jika mereka sudah mendapatkan apa yang mereka
inginkan, lalu mereka memilih untuk meninggalkan, maka tidak akan ada bekas
apa-apa diantara keduanya. Beda jika pernikahan dilakukan secara sah, jika
terjadi perceraianpun semuanya tampak jelas, ini istri siapa itu suami siapa
serta yang itu anak siapa pula.
Analisis TKW di Madura
Analisis TKW di Madura
Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Madura terbilang cukup banyak. Sebut
saja yang dari Junganyar, Socah TKW di sana lebih kurang 60% banyaknya.
Semuanya bekerja di negara yang berbeda-beda, ada yang di Malaysia, Arab Saudi,
dan Hongkong. Kenapa memilih untuk menjadi TKW? Kembali lagi pada masalah
ekonomi yang menghimpit keluarga.
Cara menjadi TKW pun terbilang mudah. Cukup mendaftarkan diri ke
agen resmi atau langsung ke BP2TKI. Setelah lulus prosedur, maka TKW akan
diberangkatkan. Meninggalkan keluarga, suami beserta anak.
Salah satu yang penulis ketahui yang
manjadi TKW adalah ibu dari teman sahabat penulis sendiri. Ibunya bekerja di
Malaysia sudah sekian tahun lamanya. Mereka tinggal di Keleyan, Socah. Hasil
jerih payah menjadi TKW dapat dirasakan saat keluarga besar mereka diboyong tinggal
di rumah baru yang mereka bangun jauh-jauh hari. Tidak hanya bisa membangun dan
merenovasi rumah, keluarga itupun bisa membeli motor baru. Jika dilihat dari
segi finansial yang didapatkan, sungguh menggiurkan menjadi TKW di luar negeri.
Namun, dibalik rasa syukur karena mendapat gaji yang besar, ada
hal lain yang menjadi bumerang. Belum lama ini, 14 April 2015, salah satu TKW
yang berasal dari Bangkalan, Madura dihukum mati di Arab Saudi karena kasus
pembunuhan. Ekseskusi mati dilakukan karena keluarga korban tidak memberikan
pemaafan terhadap pembunuhan yang dilakukan pelaku pada tahun 1999 itu. 16
tahun almarhumah dipenjara di Madinah. Hal ini amat disayangkan, sebab pelaku
adalah seorang perempuan dan seorang ibu yang memiliki anak pula.
Memilih untuk TKW di luar negeri sebenarnya adalah pilihan yang
terbilang sulit. Sebab, mereka akan meninggalkan keluarga dalam kurun waktu
yang cukup lama. Belum lagi kalau sudah bersuami, suami akan ditinggalkan.
Belum lagi kalau sudah punya anak, anak pula menjadi korban. Banyak TKW yang
meninggalkan anak mereka yang masih kecil-kecil, padahal mereka membutuhkan
kasih sayang orang tua. Mereka butuh didikan dari orang tuanya di rumah, butuh
rasa cinta dan rasa aman. Anak yang cukup lama ditinggalkan, ditakutkan akan
manjadi minder dalam pergaulan. Tidak memiliki rasa percaya diri. Tak bisa
dibayangkan rasa rindu yang diderita ibu-ibu yang menjadi TKW di luar negeri. Belum
lagi kalau suami menjadi serong, menikah sirri dengan orang lain sebab lama
ditinggalkan istri yang bekerja ke luar negeri. Hal itu bisa saja terjadi.
Mengingat, menikah dua, tiga, bahkan empat kalipun tidak menjadi masalah bagi
masyarakat Madura.
Faktor ekonomi memang manjadi masalah utama mengapa masyarakat di
Madura memilih untuk menjadi TKW. Yang jadi pertanyaan penulis, mengapa harus
perempuan yang bekerja bukannya laki-laki? Sungguh kasihan para perempuan yang
menjadi tulang punggung keluarga. Seharusnya suamilah yang menafkahi keluarga,
istri cukup di rumah menjaga dan mengatur kehidupan rumah tangga.
Orang Madura sendiri tidak memiliki stereotipe buruk bagi TKW di
luar negeri, sebab memang kebanyakan keluarga di Madura bekerja menjadi TKI di
luar negeri. Coba saja kita berkunjung ke Socah, Bangkalan. Coba tanyakan satu
keluarga, apakah dari keluarga tersebut menjadi TKI atau keluarga dekat maupun
jauhnya menjadi TKI? Pasti jawabannya, iya, ada. Kita bisa melihat rumah-rumah
megah banyak di wilayah Socah dan kebanyakan mereka adalah keluarga TKI.
Seharusnya pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan, khususnya
lagi di wilayah Madura karena kita menyoroti TKW di Madura sendiri. Jika
lapangan pekerjaan tersedia, tentu keluarga bisa harmonis menjalani kehidupan
sehari-harinya. Tanpa harus didulang perasaan cemas, gelisah, serta rindu
sehari-hari sebab bekerja di luar negeri.
0 komentar:
Post a Comment
Terima kasih untuk masukannya. Setiap masukan akan dievaluasi untuk output yang lebih baik #JernihBerkomentar